BAB I
PENDAHULUAN
Linguistic sebagai ilmu yang mengkaji seluk beluk bahasa
keseharian manusia dakam perkembangannya memiliki beberapa cabang.
Cabang-cabang linguistic itu secara berturut-turut dapat disebutkan sebagai
berikut: (1) fonologi, (2) morfologi, (3) sintaksis, (4) semantic, dan (5)pragmatik.
Dari urutan cabang-cabang linguistic itu tampak bahwa pragmatic merupakan
cabang linguistic yang terakhir sekaligus terbaru.
Pragmatic mempelajari apa saja yang termasuk struktur
bahasa sebagai alat komunikasi antar penutur dan mitra tutur serta sebagai
pengacuan tanda-tanda bahasa yang sifatnya ekstralinguistik.
Leech (1983) menyatakan bahwa pragmatic merupakan bagian
dari penggunaan tata bahasa. Selanjutnya, pakar ini menunjukkan bahwa pragmatic
dapat berintegrasi dengan tata bahasa atau gramatika yang meliputi fonologi,
morfologi, dan sintaksis melalui semantic.
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Pragmatik
Pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa
manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan
melatarbelakangi bahasa itu.
Pragmatik mengkaji maksud penutur
dalam menuturkan sebuah satuan lingual tertentu pada sebuah bahasa. Karena yang
dikaji di dalam pragmatic adalah makna, dapat dikatakan bahwa pragmatic dalam
banyak hal sejajar sengan semantic yang juga mengkaji makna. Perbedaan antar
keduanya adalah bahwa pragmatic mengkaji makna satuan lingual secara eksternal,
sedangkan semantic mengkaji makna satuan lingual secara internal. Makna yang
dikaji dalam pragmatic bersifat terikat konteks, sedangkan makna yang dikaji
dalam semantic bersifat bebas konteks. Makna yang dikaji dalam pragmatic
bersifat triadik, sedangkan makna yang dikaji dalam semantic bersifat diadik.
Pragmatic menkaji bentuk bahasa untuk mengetahui maksud penutur, sedangkan sematik
mempelajari bentuk bahasa untuk memahami makna satuan lingual itu. Berkenaan
dengan makna diadik dan makna triadic dalam linguistic itu, wijana (1996)
menyebutkan bahwa makna jenis pertama dapat dirumuskan dengan pertanyaan “Apa
makna x itu?”, sedangkan makna jenis kedua dirumuskan dengan pertanyaan “Apakah
yang kamu maksud dengan berkata x itu?”.
Dibagian depan sudah diuraikan bahwa
pragmatic adalah studi bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada
konteks. Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang
dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi
sebuah pertuturan. Dengan mendasarkan pada gagasan Leech (1983: 13-14), Wijana
(1996) menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut dengan konteks
situasi tutur. Konteks situasi tutur, menurutnya, mencakup aspek-aspek berikut.
(1)
Penutur dan lawan tutur
Penutur dan lawan tutur di dalam
beberapa literature, khususnya dalam Searle (1983), lazim dilambangkan dengan S
(speaker) yang berarti ‘pembicara
atau penutur’ dan H (hearer) yang
dapat diartikan ‘pendengar atau mitra tutur’. Digunakannya lambing S dan H itu
tidak dengan sendirinya membatasi cakupan pragmatic semata-mata hanya pada
bahasa ragam lisan saja, melainkan juga dapat mencakup ragam bahasa tulis.
(2)
Konteks tuturan
Konteks tuturan telah diartikan
bermacam-macam oleh para linguis. Konteks dapat mencakup aspek-aspek tuturan
yang relevan baik secara fisik maupun nonfisik. Konteks dapat pula diartikan
sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki
penutur dan mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa
yang dimaksudkan penutur itu didalam proses bertutur.
(3)
Tujuan tuturan
Tujuan tutur berkaitan erat dengan
bentuk tuturan seseorang. Dikatakan demikian, karena pada dasarnya tuturan itu
terwujud karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur yang jelas dan
tertentu sifatnya. Secara pragmatic, satu bentuk tutur dapat memiliki maksud
dan tujuan yang bermacam-macam. Demikian sebaliknya, satu maksud atau tujuan
tutur dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan berbeda-beda. Disinilah dapat
dilihat perbedaan mendasar antara pragmatic yang berorientasi funsional dengan tata bahasa yang berorientasi formal
atau struktural.
(4)
Tuturan sebagai bentuk tindakan
atau aktivitas
Tuturan sebagai bentuk tindakan atau
aktivitas merupakan bidang yang ditangani pragmatic. Karena pragmatic
mempelajari tindak verbal yang terdapat dalam situasi tindak tutur tertentu,
dapat dikatakan bahwa yang dibicarakan di dalam pragmatik itu bersifat kongkret
karena jelas keberadaan siapa peserta tuturnya, dimana tempat tuturnya, kapan
waktu tuturnya, dan seperti apa konteks situasi tuturnya secara keseluruhan.
(5)
Tuturan sebagai produk tindak
verbal
Tuturan dapat dipandang sebagai
sebuah produk tindak verbal. Dapat dikatakan demikian, karena pada dasarnya
tuturan yang ada dalam sebuah penuturan itu adalah hasil tindak verbal para
peserta tutur dengan segala pertimbangan konteks yang melingkupi dan
mewadahinya.
- Prinsip Kerja Sama Grice
Agar pesan dapat sampai dengan baik
pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan
prinsip-prinsip berikut ini : (1) prinsip kejelasan, (2) prinsip kepadatan, dan
(3) prinsip kelangsungan. Prinsip-prinsip itu secara lengkap dituangkan dalam
Prinsip Kerjasama Grice (1975). Prinsip Kerja Sama Grice itu seluruhnya
meliputi empat maksim yang satu per satu sebagai berikut.
- Maksim kuantitas
Di dalam maksim kuantitas, seorang
penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relative memadai, dan
seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi
yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung
informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan
melanggar maksim kuantitas dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Demikian sebalinya,
apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan
melanggar maksi kuantitas.
Contoh:
(1)
“Lihat itu Muhammad Ali mau
bertanding lagi!”
(2)
“lihat itu Muhammad Ali yang
mantan petinju kelas berat itu mau bertanding lagi!”
Tuturan (1) dalam contoh diatas merupakan
tuturan yang sudah jelas dan sangat informative isinya. Dapat dikatakan
demikian, karena tanpa harus ditambah informasi lain, tuturan itu sudah dapat
dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan
informasi seperti ditunjukkan pada tuturan (2) justru akan menyebabkan tuturan
menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang digariskan maksim
ini, tuturan seperti pada (2) diatas tidak mendukung atau bahkan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice.
Pernyataan yang demikian dalam banyak
hal, kadang-kadang, tidak dapat dibenarkan. Dalam masyarakat dan budaya Indonesia ,
khusunya di dalam kultur masyarakat Jawa, justru ada indikasi bahwa semakin
panjang sebuah tuturan akan semakin sopanlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin
pendek sebuah tuturan, akan semakin tidak sopanlah tuturan itu. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa untuk menunjukkan maksud kesantunan tuturan
dalam bahasa Indonesia ,
dalam hal tertentu penutur harus melanggar dan tidak menepati Prinsip Kerja
Sama Grice. Tuturan (3), (4) dan tuturan (5) berikut secara berturut-turut
menunjukkan perbedaan tingkat kesantunan tuturan sebagai akibat dari perbedaan
panjang-pendeknya tuturan
(3)
“Bawalah Koran itu ke tenpat
lain!”
(4)
“Tolong bawalah Koran itu ke
tempat lain!”
(5)
“Silakan Koran itu dibawa ke
tempat lain dahulu!”
- Maksim kualitas
Dengan maksim kualitas, seorang
peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta
sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada
bukti-bukti yang jelas. Tuturan (6) dan tuturan (7) pada bagian berikut dapat
dipertimbangkan untuk memperjelas pernnyataan ini.
(6)
“Silakan menyontek saja biar
nanti saya mudah menilainya!”
(7)
‘Jangan menyontek, nilainya
bias E nanti!”
Tuturan (6) dan (7) dituturkan oleh
dosen kepada mahasiswanya didalam ruang ujian saat ia melihat ada mahasiswa
yang sedang berusaha melakukan penyontekan.
Tuturan (7) jelas lebih memungkinkan
terjadinya kerjasama antara penutur dan mitra tutur. Tuturan (6) dikatakan
melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya
tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan seseorang. Akan merupakan sesuatu
kejanggalan apabila di dalam dunia oendidikan terdapat seorang dosen yang
mempersilakan para mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung.
Dalam komunikasi sebenarnya, penutur
dan mitra tutur sangat lazim menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak
senyatanya dan tidak disertai bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu
langsung dan tanpa basa-basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa
adanya justru akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan
perkataan lain, untuk bertutur yang santun maksim kualitas ini seringkali tidak
dipatuhi dan tidak dipenuhi. Tuturan (8), (9) dan (10) berikut secara
berturut-turut berbeda dalam peringkat kesantunannya dan dapat dipertimbangkan
untuk memperjelas pernyataan di atas.
(8)
“Pak, minta uangnya untuk
besok!”
(9)
“Bapak, besok beli bukunya
bagaimana?”
(10)
“Bapak, besok aku jadi ke
Gramedia, bukan?”
- Maksim relevansi
Di dalam malsim relevansi, dinyatakan
bahwa agar terjalin kerjasama yang baik antara penutur dan mitra tutur,
masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu
yang sedang di pertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi
yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerjasama. Sebagai
ilustrasi atas pernyataan itu perlu dicermati tuturan (11) berikut.
(11)
Sang Hyang Tunggal: “Namun
sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini dalam hati!”
Semar: “Hamba bersedia, ya Dewa.”
Cuplikan penuturan pada (11) di atas
dapat dikatakan mematuhi dan menepati maksim relevansi. Dikatakan demikian,
karena apabila dicermati secara lebih mendalam, tuturan yang disampaikan tokoh
Semar, yakni “Hamba bersedia, ya, Dewa”
benar-benar merupakan tanggapan atas perintah Sang Hyang Tunggal yang
dituturkan sebelumnya, yakni ”Namun,
sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku dalam hati.” Dengan perkataan
lain, tuturan itu patuh dengan maksim relevansi dalam Prinsip Kerja Sama Grice.
Untuk maksud-maksud tertentu , misalnya untuk menunjukkan kesantunan tuturan,
ketentuan yang ada pada maksim itu sering kali tidak dipenuhi penutur.
Berkenaan dengan hal ini, tuturan (12) antara seorang direktur dengan
sekretarisnya pada contoh berikut dapat dipertimbangkan.
(12)
Direktur: “Bawa sini semua
berkasnya akan saya tanda tangani dulu!”
Sekretaris: “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu.”
Dituturkan oleh seorang direktur
kepada sekretarisnya pada saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja
Direktur. Pada saat itu, ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama.
Di dalam cuplikan percakapan diatas,
tampak dengan jelas bahwa tuturan sang Sekretaris, yakni “Maaf Bu, kasihan sekali nenek
tua itu” tidak memiliki relevansi dengan apa yang diperintah kan sang Direktur: “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda
tangani dulu!” Dengan demikian tuturan tersebut dapat dipaki sebagai salah
satu bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip kerjasama tidak selalu harus
dipenuhi dan dipatuhi dalam penuturan sesungguhnya. Hal seperti itu dapat
dilakukan, khususnya apabila tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan
maksud-maksud tertentu yang khusus sifatnya.
- Maksim pelaksanaan.
Maksim pelaksanaan ini mengharuskan
peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas dan tidak kabur. Orang
bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar
Prinsip Kerja Sama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan. Berkenaan
dengan itu, tuturan (14) pada contoh berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi.
(13)
(+) “Ayo, cepat dibuka!”
(-) “Sebentar dulu, masih dingin.”
Cuplikan tuturan (14) di atas
memiliki kadar kejelasan yang rendah. Karena berkadar kejelasan rendah dengan
sendirinya kadar kekaburanya menjadi sangat tinggi. Tuturan si penutur (+) yang
berbunyi (”Ayo, cepat dibuka!” sama
sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si
mitra tutur. Kata dibuka dalam
tuturan diatas mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan sangat tinggi. Oleh
karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur. Dapat dikatakan demikian, karena
kata itu dimungkinkan untuk ditafsirkann bermacam-macam. Demikian pula tuturan
yang disampaikan si mitra tutur (-), yakni “Sebentar
dulu, masih dingin” mengandung kadar ketaksaan cukup tinggi. Kata dingin pada tuturan itu dapat
mendatangkan banyak kemungkinan persepsi penafsiran karena di dalam tuturan itu
tidak jelas apa sebenarnya yang masih dingin
itu. Tuturan-tuturan demikian itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama
karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan dalam Prinsip Kerja Sama Grice.
Dalam kegiatan bertutur yang
sesungguhnya pada masyarakat bahasa Indonesia , ketidakjelasan,
kekaburan, dan ketidaklangsungan merupakan hal yang wajar dan sangat lazim
terjadi. Sebagai contoh, di dalam masyarakat tutur dan kebudayaan Jawa,
ciri-ciri bertutur demikian hampir selalu dapat ditemukan dalam percakapan
keseharian. Pada masyarakat tutur ini, justru ketidaklanngsungan merupakan
salah satu kriteria kesantunan seseorang dalam bertutur. Tuturan (15) berikut
dapt digunakan sebagai ilustrasi untuk memperjelas hal ini.
(14)
Anak: “Bu, besok saya akan
pulang lagi ke kota .”
Ibu: “Itu sudah saya siapkan di laci
meja.”
Dari cuplikan di atas, tampak bahwa
tuturan yang dituturkan sang anak yakni berbunyi “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota ” relative kabur maksudnya. Maksud
yang sebenarnya dari tuturan si anak itu, bukannya terutama ingin memberitahu
kepada sang ibu bahwa ia akan segera kembali ke kota , melainkan lebih dari itu, yakni bahwa
ia sebenarnya ingin menanyakan apakah sang ibu sudah siap dengan sejumlah uang
yang sudah diminta sebelumnya. Seperti telah disampaikan terdahulu, di dalam
masyarakat tutur Jawa, justru kesantunan berbahasa banyak dimarkahi oleh ketidakjelasan,
ketidaklangsungan kekaburan dan semacamnya. Orang yang terlibat didalam penuturan
diharapkan dapat membaca maksud tersembunyi dari si mitra tutur.
- Prinsip Kesantunan Leech
- Maksim Kebijaksanaan
Gagasan dasar maksim kebijaksanaan
dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya
berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan
memaksimalkan keuntungan pihak laindalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang
berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai
orang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim
kebijaksanaan, ia akan dapat menghindari sifat dengki, iri hati, dan
sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap si mitra tutur. Demikian pula
perasaan sakit hati sebagai akibat dari perlakuan yang tidak menguntungkan pihak lain akan dapat
diminimalkan apabila maksim kebijaksanaan ini dipegang teguh dan dilaksanakan dalam kegiatan
bertutur.
Contoh:
Tuan Rumah: “Silakan makan dulu , nak!”
Tamu: “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
Di dalam tuturan tersebut diatas
tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan Rumah sungguh
memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu dapat
ditemukan dalam keluarga-keluarga pada masyarakat tutur desa. Orang-orang desa
biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datangnya secara kebetulan
maupun tamu yang sudah direncanakan terlebih dahulu kedatangannya.
- maksim kedermawanan
Dengan maksim kedermawanan atau maksim
kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang
lain. Penghormatan terhadap orang lain akan dapat terjadi apabila orang dapat
mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi
pihak lain.
Contoh:
Anak kos A:”Mari say cucikan baju kotormu!
Pakaianku tidak banyak, kok, yang kotor.”
Anak kos B: “Tidak usah, Mbak. Nanti
siang saya akan mencuci juga, kok.”
Dari tuturan yang disampaikan si A
diatas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan
pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu
dilakukan dengan cara menawarkan bantuan
untuk mencucikan pakaian kotornya si B. di dalam masyarakat tutur Jawa, hal
demikian itu sangat sering terjadi karena merupakan salah satu wujud nyata dari
sebuah kerja sama. Orang yang tidak suka mebantu orang lain, apalafi tidak
pernah bekerja bersama orang lai, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya
tidak akan mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan keseharian hidupnya.
Contoh:
Bapak A: “Wah, oli mesin mobilku agak
sedikit kurang.”
Bapak B: “Pakai oliku juga boleh.
Sebentar, saya ambilkan dulu.”
- Maksim penghargaan
Dalam maksim penghargaan dijelaskan
bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha
memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar
para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci atau saling
merendahkan pihak lain. Peserta titir yang sering mengejek pihak peserta tutur
lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan.
Maka tindakan mengejek harus dihindari dari pergaulan sesungguhnya karena
merupakan perbuatan yang tidak menghargai orang lain.
Contoh:
Dosen A: “Pak, aku tadi sudah
memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.”
Dosen B: “Oya, tadi aku mendengar
Bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.”
Pemberitahuan yang disampaikan dosen
A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik
bahkan disertai dengan pujian atau penghargaan oleh dosen A. dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu doden B berperilaku santun
terhadap dosen A.
- maksim kesederhanaan
Didalam maksim kesederhanaan atau
maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati
dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan
sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan
mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia ,
kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian
kesantunan seseorang.
Contoh:
Ibu A: “Nanti Ibu yang memberikan
sambutan ya dalam rapat Dasa Wisma!”
Ibu B: “Waduh,…. Nanti grogi aku.”
- maksim permufakatan
Di dalam maksim permufakatan atau
maksim kecocokan (Wijana, 1996:59), ditekankan agar para peserta tutur dapat
saling membina kecocokan atau kemufakatan antara diri penutur dan mitra tutur
dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan
bersikap santun. Di dalam masyarakat tutur Jawa, orang tidak diperbolehkan
memenggal atau bahkan membantah secara langsung apa yang dituturkan oleh pihak
lain.
Contoh:
Noni: “Nanti malam kita makan malam
bersama ya, Yun!”
Yuyun: “Boleh, Saya tunggu di Bambu
Resto.”
- maksim kesimpatisan
Di dalam maksim ini diharapkan agar
para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu
dengan pihak yang lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur
akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Masyarakat tutur Indonesia , sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatisan terhadap orang
lain di dalam komunikasi kesehariannya. Kesimpatisan terhadap pihak l;ain
sering ditunjukkan dengan senyuman, anggukan, gandengan tangan, dan sebagainya.
Contoh:
Ani: “Tut, nenekku meninggal.”
Tuti: “Innalillahiwainnailaihi
rojiun. Ikut berduka cita.”
- Prinsip kesantunan
Sedikitnya terdapat tiga macam skala
pengukur peringkat kesantunan yaitu sebagai berikut.
a.
Skala Kesantunan Leech
Di dalam model ini, setiap maksim,
interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan
sebuah tuturan. Berikut skala kesantunan yang disampaikan Leech selengkapnya.
(1)
skala keuntungan dan kerugian,
menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh
sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan
diri penutur, akn semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya,
semakkin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan dianggap tidak santunlah
tuturan itu. Apabila hal ini dilihat dari kacamata mitra tutur dapat dikatakan
bahwa semakin menguntungkan diri mitra tutur, akan semakin dipandang tidak
santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri,
si mitra tutur akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
(2)
Skala pilihan, menunjuk kepada
banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada si mitra
tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau
mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin
santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak
memberikan kemungkinan memilih bagi penutur dan mitra tutur, tuturan tersebut
akan dianggap tidak santun.
(3)
Skala ketidaklangsungan
menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah
tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak
santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin tidak langsung, maksu sebuah tuturan,
akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
(4)
Skala keotoritasan menunjuk
kepada hubungan statu social antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam
pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat social antara keduanya, tuturan yang
digunakan akan cenderung semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak
peringkat status social di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah
peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.
(5)
Skala jarak social menunjuk
kepada peringkat hubungan social antara penutur dan mitra tutur yang terlibat
dalam sebuah pertuturan. Ada
kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat social diantara keduanya,
akan menjadi semakin kurang kesantunan tuturan itu. Sebaliknya, semakin jauh
jarak peringkat sosialnya, akan semakin santun tuturan yang digunakan. Dengan
kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dan mitra tutur sangat
menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.
b.
Skala Kesantunan Brown and
Levinson
Di dalam model Skala Kesantunan Brown
and Levinson terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan
sebuah tuturan. Ketiga skala termaksud ditentukan secara kontekstual, social
dan cultural sebagai berikut.
(1)
skala peringkat jarak sosial
antara penutur dan mitra tutur banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur,
jenis kelamin dan latar belakang sosiokultural. Berkenaan dengan umur antara
penutur dan mitra tutur, lazimnya didapat bahwa semakin tua umur seseorang,
peringkat kesantunan dalam bertutur akan semakin tinggi. Sebaliknya, orang yang
masih berusia muda cenderung memiliki tingkat kesantunan yang rendah dalam
bertutur. Orang yang berjenis kelamin wanita, lazimnya memiliki peringkat
kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin pria.
Latar belakang sosiokultural seseorang memiliki peran sangat besar dalm
menentukan peringkat kesantunan tutur yang dimilikinya.
(2)
Skala peringkat status social
antara penutur dan mitra tutur atau disebut dengan peringkat kekuasaan
didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur.
(3)
Skala peringkat tindak tutur
didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur
yang lain. Sebagai contoh, dalam situasi sangat khusus, bertamu di rumah
seorang wanita dengan melewati batas waktu bertamu yang wajar akan dikatakan
sebagai tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesantunan yang
berlaku pada masyarakat tutur itu. Namun demikian, hal yang sama akan dianggap
sangat wajar dalam situasi yang berbeda. Pada saat di suatu kota terjadi kerusuhan dan pembakaran gedung-gedung
dan perumahan, orang berada di dalam rumah orang lain atau rumah tetangganya
bahkan sampai pada waktu yang tidak ditentukan.
c.
Skala Kesantunan Robin Lakoff
Robin Lakoff (1973) menyatakan tiga
ketentuan untuk dapat dipenuhinya kesantunan di dalam kegiatan bertutur. Ketiga
ketentuan itu adalah sebagai berikut.
(2)
Skala formalitas, dinyatakan
bahwa agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatn
bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh
berkesan angkuh. Di dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus
dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya dan
senatural-naturalnya antara yang satu dengan yang lain.
(3)
Skala ketidaktegasan atau skala
pilihan menunjukkan agar penutur dan mitra tutur dapat merasa nyaman dan
kerasan dalam kegiatn bertutur, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan
oleh kedua belah pihak. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan
terlalu kaku di dalam bertutur karena dianggap tidak santun.
(4)
Peringkat kesekawanan atau
kesamaan menunjukkan bahwa agar dapat bersikap santun, orang haruslah bersikap
ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak satu dengan yang
lain. Agar tercapai maksud tersebut, penutur haruslah dapat menganggap mitra
tutur sebagai sahabat. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi
pihal lainnya, rasa kesekawanan dan kesejajaran sebagai satu prasyarat
kesantunan akan dapat tercapai.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pragmatic mempelajari apa saja
yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antar penutur dan mitra
tutur serta sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa yang sifatnya
ekstralinguistik. Dibagian depan sudah diuraikan bahwa pragmatic adalah studi
bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks. Konteks yang dimaksud
adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan
mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Dengan
mendasarkan pada gagasan Leech (1983: 13-14), Wijana (1996) menyatakan bahwa
konteks yang semacam itu dapat disebut dengan konteks situasi tutur seperti
Penutur dan lawan tutur, Konteks tuturan, Tujuan tuturan, Tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, Tuturan sebagai produk tindak verbal.
DAFTAR PUSTAKA
Rahardi, Kunjana.2005.Pragmatik. Jakarta :
Penerbit Erlangga.
Akadiah, Sabarti.1991.Bahasa Indonesia 1. Jakarta : Proyek Tenaga Kependidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar