AKSIOLOGI: NILAI
KEGUNAAN ILMU
ILMU DAN MORAL, TANGGUNG JAWAB SOSIAL ILMUWAN, DAN REVOLUSI GENETIKA
ILMU DAN MORAL, TANGGUNG JAWAB SOSIAL ILMUWAN, DAN REVOLUSI GENETIKA
Ilmu
dan moral
Benarkah bahwa makin cerdas, maka
makin pandai kita menemukan kebenaran, makin beanr maka makin baik pula
perbuatan kita? Apakah manusia yang mempunyai penalaran tinggi, lalu makin
berbudi, sebab moral mereka dilandasi analisis yang hakiki, ataukah malah
sebaliknya: makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta?
Merupakan kenyataan yang tidak bisa
dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi.
Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa
dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping penciptaan berbagai
kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman,
pendidikan dan komunikasi. Namun dalam kenyataannya apakah ilmu selalu
merupakan berkah, terbebas dari kutuk, yang membawa mala petaka dan
kesengsaraan?
Sejak dalam tahap-tahap pertama
pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja
digunakan untuk menguasai alam melaikan juga untuk memerangi sesame manusia dan
menguasai mmereka. Bukan saja bermacam-macam senjata pembunuh berhasil dikembangkan
namun juga berbagai teknik penyiksaan dan cara memperbudak massa. Di pihak
lain, perkembangan ilmu sering melupakan faktor manusia, dimana bukan lagi
teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia,
namun justru sebaliknya: manusialah akhirnya yang harus menyesuaikan diri
dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan
kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan
eksistensinya sendiri. Sesuatu yang kadang-kadang harus dibayar mahal oleh
manusia yang kehilangan sebagian arti dari kemnusiaannya.
Manusia sering dihadapkan dengan
situasi yang tidak bersifat manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi teknologi,
yang merampas kemanusiaan dan kebahagiaannya.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada
di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu
sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan
kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan
lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan
hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Menghadapi kenyataan seperti ini,
ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai
mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharuanya: untuk apa sebenarnya ilmu itu
harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana
perkembangan keilmuan harus diarahkan?
Dan untuk menjawab pertanyaan ini
maka ilmuwan berpaling kepada hakikat moral. Sebenaranya sejak saat
pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam
perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya
tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi
matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama,
maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran
agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin memperlajari
alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu
mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam
ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan diantaranya agama. Timbullah konflik yang
bersumber pada penafsiran metaffisik ini yang berkulminasi pada pengadilan
inkusisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama
tersebut,, dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi
matahari.
Pengadilan inkusisi Galileo ini
selama kurang lebih dua setengah abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir
di Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu yang ingin
terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran di luar
bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilainya sebagai penafsiran metafisik
keilmuan. Dalam kurun waktu ini para ilmuan berjuang untuk menegakkan ilmu yang
berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan: Ilmu yang Bebas Nilai! Setelah
pertarungan kurang lebih dua ratus lima puluh tahun maka para ilmuwan
mendapatkan kemenangan. Setelah saat itu ilmu memperoleh otonomi dalam
melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.
Konflik ini bukan saja terjadi
dalam ilmu-ilmu alam namun juga dalam ilmu-ilmu social di mana berbagai
ideology mencoba mempengaruhi metafisik keilmuan. Kejadian ini sering terulang
kembali di mana sebagian metafisik keilmuan diperlukan das Sollen dari ajaran moral yang terkandung dalam ideology
tertentu, dan bukan das Sein sebagaimana
dituntut oleh hakikat keilmuan.
Mendapatkan otonomi yang terbatas
dari segenap nilai yang bersifat dogmatic ini maka dengan leluasa ilmu dapat
mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional yang bersifat kontemtatif
kemudian di susul dengan penerapan konsep-konsep ilmiah kepada masalah-masalah
praktis. Konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk kongkret
yang berupa teknologi. Teknologi di sini diartikan sebagai penerapan konsep
ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat
keras (hardware) maupun perangkat
lunak(software). Dalam tahap ini ilmu
tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengetian dan
pemahaman, namun lebih jauh lagi, bertujuan memanipulasi factor-faktor yang
terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang
terjadi.
Bertrand Russell menyebut
perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap “kontempelasi ke
manipulasi”. Dalam tahap manipulasi inilah maka masalah moral muncul kembali
namun dalm kaitan dengan factor lain. Kalau dalam tahap kontempilasi masalah
moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi ini
maslah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara
filsafati dapat dikatakan, dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah
moral yang ditinjau dari segi ontology keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan
konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Ontology
diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas obyek yang ditelaah
dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Seperti diketahui
setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah, mempunyai tiga dasar yakni
ontology, epistemology dan aksiologi. Epistemology membahas cara untuk
mendapatkan pengetahuan; yang dalam kegiatan keilmuan di sebut metode ilmiah.
Masalah teknologi yang
mengakibatkan proses dehumanisasisebenarnya lebih merupakan masalah kebudayaan
daripada masalah moral. Artinya, dihadapkan dengan ekses teknologi yang
bersifat negative ini, maka masyarakat harus menentukan teknologi mana saja
yang akan dipergunakan dan teknologi mana yang tidak. Secara konseptual maka
hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus menetapkan strategi pengembangan
teknologi agar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dijunjungnya.
Dihadapkan dengan masalah moral
dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para
ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan
bahwa ilmu harus bersifat netral terhadpa nilai-nilai baik itu secara
ontologism maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmuwan adalah menemukan pengetahuan
dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya; apakah pengetahuan itu
dipergunakan untuk tujuan yang baik, ataukah dipergunakan untuk tujuan yang
buruk. Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus
berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia,
ujar Charles Darwin, adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya
mengontrol pikiran kita.
Golongan pertama ingin melanjutkan
tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada waktu era Galileo sedangkan
golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis
berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua mendasarkan
pendapatnya pada beberapa hal yakni: (1) ilmu secara factual telah dipergunakan
secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua Perang Dunia
yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan; (2) ilmu telah berkembang
dengan pesat dan makin esoteric sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang
ekses-ekses yang mungkin terjaid bila terjadi penyalahgunaan; dan (3) ilmu
telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemunkinan bahwa ilmu dapat
mengubah mansia dan kemanusiaan yang palinh hakiki seperti pada kasus revolusi
genetika dan teknik perubahan social (social
engineering). Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat
bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa
merendahkan martabat atau merubah hakikat kemanusiaan.
Masalah moral tak bisa dilepaskan
dengan tekat manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran
dan terlebih-lebih untuk mempertahankan kebenaran. Diperlukan keberanian moral.
Sejarah kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan
nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah
menyaksikan Sokrates dipaksa minum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah
tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung dihalangi untuk menemukan
kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dalam
melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa
manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini diganti dengan proses
rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran.
Tanggung
jawab social ilmuwan
Ilmu merupakan hasil karya
perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat.
Sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan maka dia diterima
sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat
tersebut. Dengan kata lain, penciptaan ilmu bersifat individual namun
komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat social. Kreativitas individu
yang didukung oleh system komunikasi social yang bersifat terbuka menjadi
proses pengembangan ilmu yang berjalan sangat efektif.
Seorang ilmuwan mempunyai tanggung
jawab social yang terpikul di bahunya. Bukan saja karena dia adalah warga
masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun
yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam
kelangsungan hidup masyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada
penelaahan dan keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Untuk membahas ruang lingkup yang
menjadi tanggung jawab seorang ilmuwan maka hal ini dapat dikembalikan kepada
hakikat ilmu itu sendiri. Sikap social seorang ilmuwan adalah konsisten dengan
proses penelaahan keilmuan yang dilakukan.
Semua penelaahan ilmiah dimulai
dengan menentukan masalah dan demikian juga halnya dengan prose pengambilan
keputusan dalam hidup bermasyarakat. Beberapa masalah sedemikian esoteric dan
rumit sehingga masyarakat tidak dapat meletakkan dala proporsi yang sebenarnya.
Pada masalah seperti ini maka peranan ilmuwan menjadi sesuatu yang imperative.
Dialah yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup untuk dapat
menempatkan masalah tersebut pada proporsi sebenarnya. Oleh sebab itu dia
mempunyai kewajiban social untuk menyampaikan hal itu kepada masyarakat banyak
dalam bahasa yang dapat mereka cerna. Menghadapi masalah yang kurang mereka
mengerti biasanya masyarakat bersifat ekstrem. Pada satu puhak mereka bisu
karena ketidaktahuan mereka, sedangkan dipihak lain mereka bersikap radikal dan
irasional. Tanggung jawab social seorang ilmuwan dalam hal ini adalah
memberikan perspektif yang benar:untung dan ruginya, baik dan buruknya;
sehingga penyelesaian yang onbyektif dapat dimungkinkan.
Nuklir
dan Pilihan Moral
Pada tanggal 2 Agustus 1939 Albert
Einstein menulis surat kepada Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt
yang memuat rekomendasi mengenai
serangkaian kegiatan yang kemudian mengarah kepada pembuatan bom atom. Alasan Einstein untuk menulis surat
tersebut secara eksplisit juga termuat
dalam suratnya kepada Presiden Roosevelt dimana dia mengemukakan kekhawatirannya mengenai kemungkinan
pembuatan bom atom oleh Nazi. Keputusan
Einstein bukanlah didasarkan kepada nasionalisme atau patriotism.
Dalam persoalan semacam ini ilmu
bersifat netral. Walaupun demikian dalam kasus ini Einstein memilih untuk
berpihak, yaitu brpihak kepada kemanusiaan yang besar. Kemanusiaan ini tidak
mengenal batas geografis, siatem politik atau system kemasyarakatan lainnya.
Seorang ilmuan secara moral tidak
akan emmbiarkan hasil penemuannya diguanakan untuk menindas bangsa lain
meskipun yang mempergunakan adalah bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat
bahwa para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang
menurut
anggapan mereka melanggar asas-asas
kemanusiaan. Ternyata bahwa dalam soal-soal yang menyangkut kemanusiaan para
ilmuwan tidak bersifat netral. Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusiaan
memerlukan mereka. Suara mereka bersifat universal mengatasi golongan, ras,
sisitem kekuasaan, agama dan lain-lain.
Salah satu musuh kemanusiaan yang
besar adalah peperangan. Perang menyebabkan kehancuran, pembunuhan dan
kesengsaraan. Tugas ilmuwanlah untuk menhilangkan atau mengecilkan terjadinya
peperangan ini meskipun hal ini merupakan sesuatu yang hampir mustahil terjadi.
Perang merupakan fakta dari sejarah kemanusiaan yang sukar untuk dihilangkan.
Mungkin hal ini sudah merupakan fitrah dari manusia dan masyarakat kemanusiaan
yang sudah mendarah daging.
Pengetahuan merupakan kekuasaan,
kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan kemanusiaan, atau sebaliknya
dapat pula dislahgunakan. Pengetahuan pada dasarnya ditujukan untuk
kemaslahatan kemanusiaan. Masalahnya adalah sekiranya ilmuwan menemukan sesuatu
yang menurut dia berbahaya maka apakah yang harus dilakukan menyembunyikan
ataukah menyerahkan kepada morak kemanusiaan untuk menentukan penggunaannya?
Majalah Fortune mengadakan angket
terhadap masalah tersebut dan hasilnya angket tersebut menyimpulkan bahwa 78%
ilmuwan di perguruan tinggi, 81% ilmuwan dibidang pemerintahan dan 78% ilmuwan
dalam industry berkeyakinan bahwa seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan
hasil penemuannya.
Kenetralan seorang ilmuwan dalam
hal ini disebabkan anggapannya bahwa ilmu pengetahuan merupaka rangkaian
penemuan yang mengarah kepada penemuan selanjutnya. Kemajuan ilmu pengetahuan
tidak melalui loncatan-loncatan yang tidak berketentuan melainkan melalui
proses kumulatif secara teratur. Usaha menyembunyikan sebuah penemuan merupakan
kerugian bagi kemajuan ilmu pengetahuan maka ilmu pengetahuan bersifat netral.
Seorang ilmuwan tidak boleh
memutarbalikkan fakta penemuannya bila hipotesis yang dijunjungnya yang
tyerpengaruh prefensi moral ternyata hancur berantakan karena bertentangan
dengan fakata-fakta pengujian. Seorang lmuwan di atas landasan moral memilih
untuk membuktikan bahwa generasi muda kita berkesadaran tinggi atau membuktikan
bahwa hasil penemuannya itu efektif maka dalam hasil penemuannya dia bersifat
netral dan membebaskan diri dari semua keterikatannya yang membelenggu dia
secara sadar ataupun tidak. Kenetralan di tas itulah yang menjadikan ilmu
bersifat universal. Ilmu mengabdi kemanusiaan dengan menyumbangkan penemuan
yang didapatkan lewat kegiatan ilmiah. Penemuan ilmiah tidaklah diperuntukkan
bagi suatu golonga tertentu namun bagi kemanusiaan secara keseluruhan.
Kenetralan dalam proses penemuan
kebenaran inilah yang mengharuskan ilmuwan untuk bersikap dalam menghadapi
bagaimana penemua itu digunakan. Pengetahuan bisa merupakan berkah dan
merupakan kutukan bergantung bagaimana manusia memanfaatkannya. Bila
pengetahuan merupakan kutukan, maka dalam hal ini ilmuwan wajib bersikap dan
tampil ke depan.
Ada baiknya kita menyimak pesan
Enstein kepada mahasiswa California Institute of Technology. Pesan itu diakhiri
dengan kata-kata, “ Jangan kau lupakan hal ini di tengah tumpukan diagram dan
persamaan.” Sungguh suatu pesan yang patut direnungkan karena di tengah
tumpukan grafik dan rumus-rumus kadang kita lupa, semua ini untuk apa? Ternyata
ilmu tidak saja memerlukan kemampuan intelektual namun juga keseluruhan moral.
Tanpa itu maka ilmu hanya akan menjadi Frankenstein yang akan mencekik
penciptnya dan menimbulkan malapetaka.
Revolusi
genetika
Ilmu dalam perspektif sejarah
kemanusiaan mempunyai puncak kecermelangan masing-masing. Kimia merupakan
kegemilangan ilmu yang pertama yang dimulai sebagai kegiatan pseudoilmiah yang bertujuan mencari obat
mujarab untnuk hidup abadi dan rumus campuran kimia untuk mendapatkan emas.
Setelah itu menyusul fisika yang mencapai kulminasi pada teori fisika nuklir.
Dan sekarang kita di ambang kurun genetika dengan awl revolusi di bidang
genetika.
Tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan
dalam kedua bidang kimia dan fisika membawa manfaat yang banyak untuk kehidupan
manusia. Namun disamping berkah ini kemajuan ilmu sekaligus membawa malapetaka.
Perang Dunia I menghadirkan bom kuman sebagia kutukan ilmu kimia dan Perang
Dunia II memunculkan bom atom sebagai produk fisika.
Revolusi genetika merupakan babakan
baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah
menyentuh manusia sebagai obyek penelaahan sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa
sebelumnya tidak pernah ada penelaahan yang berkaitan dengan jasad manusia,
tentu saja banyak seklai, namun penelaahan-penelaahan ini dimaksudkan untuk
mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik secara langsung manusia
sebagai obyek penelaahan. Artinya, jika kita mengadakan penelahaan mengenai
jantung manusia, maka hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan
teknologi berkaitan dengan penyakit jantung. Atau dengan kata lain, upaya kita
diarahkan dalam mengembangkan pengetahuan yang memungkinkan kita dapat
mengetahui segenap proses yang berkaitan dengan jantung, dan diatas pengetahuan
itu dikembangkan teknologi yang berupa
alat yang member kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguan-gangguan
jantung. Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita
tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan
teknologi yang memberikan kemudahan bagi
kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi obyek penelaahan yang akan
menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan
teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri. Apakah perubahan-perubahan yang
di lakukan di atas secara moral dapat di benarkan ?
Jawaban
mengenai hal ini harus dikembalikan kepada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu
berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan
hidupnya. Tujuan hidup ini, yang berkaitan erat dengan hakikat kemanusiaan itu
sendiri, bersifat otonom dan terlepas darikajian dan pengaruh ilmiah. Apakah
sebenarnya tujuan hidup manusia ? dalam hal ini maka ilmu tidak berwenang untuk
menentukannya, dan dalam napas yang sama hal ini berarti, bahwa ilmu tidak
berhak menjamah daerah kemanusiaan yang akan mempunyai pengaruh terhadap
kelangsungan tujuan hidupnya. Jangan jamah kemanusiaan itu sendiri! Mungkin
inilah kesimpulan dari kerangka pemikiran ini.
Analisis
substantive dari jalan pikiran tersebut di atas membawa kita kepada beberapa
permasalahan yang bersifat seperti, sekiranya kita mampumembikin manusia yang
IQ-nya 160 apakah ilmu bisa memberikan jaminan bahwa dia akan berbahagia (sekiranya
diterima bahwa kebahagiaan adalah salah satu tujuan hidup manusia)? Dalam hal
ini ilmu tidak akan bisa memberikan jawaban yang bersifat apriori (sebelumnya)
sebab kesimpulan ilmiah baru bisa ditarik setelah proses pembuktian yang
bersifat aposteriori (sesudahnya). Jadi bila kita secara moral bersedia
meluluskan penciptaan manusia yang mempunyai IQ 160 maka dengan ilmu pun tidak
bisa memberikan jaminan bahwa dia berbahagia.
Kita
harus mencoba dulu dan baru kita akan mengetahui jawabannya, mungkin demikian
jawabannya para ahli genetika. Hal ini membawa permasalahan moral yang baru,
apakah memperlakukan manusia selaku kelinci percobaan dapat dipertanggunjawabkan secara moral ? Sampai seberapa banyak dan seberapa jauh percobaan
harus dilakukan agar ilmu memberikan pembuktian yang meyakinkan? (Bayangkan
suatu desain eksperimen dengan manusia-manusia sebagi obyek agar didapatkan
kesimpulan statistis yang sahih). Dan hal ini baru berhubungan dengan salah
satu aspek dari hakikat kemanusiaan, padahal hakikat kemanusiaan itu sangat
kompleks, yang satu dengan yang lain tidak terjalin dalam hubungan rasional
yang dapat dianalisis secara kuantitatif yang melibatkan psikis, emosional dan
kepribadian manusia. Jadi ketetapan hati kita untuk melakukan percobaan secara
alamiah pun akan membawa kita kepada permasalahan moral yang tidak
berkesudahan, bagai mata rantai yang jalin-menjalin, di mana ilmu itu sendiri
tidak bisa memberikan jawabannya secara apriori. Dalam hal ini, manusia diibaratkan membuka kotak
Pandora, sekali dibuka berhamburlah kutuk dan malapetaka. Jangan sentuh kotak
malapetaka itu! Mungkin inilah kesimpulan yang dapat ditarik dari sudut
argumentasi ini.
Belum
lagi bila diingat bahwa secara moral mungkin saja orang tidak sependapat bahwa
kemuliaan manusia tidak ada hubungannya dengan IQ 160. Kemuliaan manusia bagi
sebagian orang bukan terletak pada atribut-atribut fisik melainkan pada amal
perbuatannya. Demikian juga mungkin saja atribut-atribut fisik itu mempunyai
makna (religius) tertentu dalam perspektif kehidupan yang bersifat teologis.
Mengapa mengutik-ngutik suatu atribut yang terkait dengan kepercayaan seseorang
yang bersifat sakral? Penemuan dalam riset genetika akan dipergunakan dengan
itikat baik untuk keluhuraan manusia.
Kesimpulan yang
dapat ditarik dari seluruh pembahasan tersebut yaitu menyatakan sikap yang
menolak terhadap dijadikannya manusia sebagai obyek penelitian genetika. Secara
moral kita lakukan evaluasi etis terhadap suatu obyek yang tercakup dalam obyek
formal (ontologis) ilmu. Menghadapi nuklir yang sudah merupakan kenyataan maka
moral hanya mampu memberikan penilaian yang bersifat aksiologis, bagaimana
sebaiknya kita mempergunakan tenaga nuklir untuk keluhuran martabat manusia.
Daftar Pustaka
Sumantri, Jujun S.2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar