BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya
dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional.
Sebagai contoh kasus Gayus Tambunan dan pembangunan Wisma Atlet Sea Games yang
melibatkan para petinggi partai Demokrat. Korupsi merupakan fenomena sosial yang hingga kini masih
belum dapat diberantas oleh manusia secara maksimal. Korupsi tumbuh subur seiring dengan berkembangnya
peradaban manusia. Tidak hanya di negeri kita tercinta, korupsi juga tumbuh
subur di belahan dunia yang lain, bahkan di negara yang dikatakan paling maju sekalipun.
Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial”
yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap
jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi
sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat
sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Disamping itu sangat sulit
mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan
korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah
maupun oleh masyarakat itu sendiri.
Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu
kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai
kekuasaaan mutlak. akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi
korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa
dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi
dimata masyarakat.
Agar tercapai tujuan pembangunan nasional, maka
mau tidak mau korupsi harus diberantas atau diminimalisir. Ada beberapa cara
penanggulangan korupsi, dimulai yang sifatnya preventif maupun yang represif
yang melibatkan semua aspek masyarakat tanpa terkecuali dan dimulai dari
lingkup aspek kehidupan yang paling kecil
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Apakah pengertian dari korupsi,
kolusi dan nepotisme itu?
2.
Apa saja faktor-faktor yang
mempengaruhi korupsi di Indonesia?
3.
Apa saja dampak dari korupsi
itu?
4.
Bagaimana cara atau solusi
untuk meminimalisir praktik korupsi di Indonesia?
5.
Bagaimana peran KPK dalam
menangani korupsi di Indonesia?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui pengertian
atau definisi dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
2.
Untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi praktik korupsi di Indonesia.
3.
Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan
dari adanya praktik korupsi di Indonesia.
4.
Untuk mengetahui cara atau
solusi untuk meminimalisir praktik korupsi di Indonesia.
5.
Untuk mengetahui peran KPK
dalam menangani masalah korupsi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari
bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington (1968)
adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima
oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi
kepentingan pribadi.
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, korupsi adalah:
1.
Penyelewengan atau
penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau
orang lain.
2.
Menyelewengkan;
menggelapkan (uang dsb).
Menurut pasal 435 KUHP, korupsi berarti busuk,
buruk, bejat dan dapat disogok, suka disuap, pokoknya merupakan perbuatan yang
buruk. Perbuatan korupsi dalam dalam istilah kriminologi digolongkan kedalam
kejahatan White Collar Crime. Dalam praktek Undang-undang yang bersangkutan, korupsi
adalah tindak pidana yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan yang yang secara langsung ataupun tidak langsung merugikan keuangan
negara dan perkenomian negara.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi
tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk
keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi
merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi,
salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang
dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan
senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi terjadi disebabkan adanya
penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai
demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak
saudara dan teman.
Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa
seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah
dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang
menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang
menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi.
Selanjutnya,
Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau
diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau
partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi
dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian,
jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku
pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
Dari sudut
pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencangkup unsure-unsur
sebagai berikut;
a.
Perbuatan melawan hukum
b.
Penyalahgunaan kewenangan
c.
Merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara
Sedangkan kolusi merupakan sikap dan perbuatan
tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan
kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas
tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.
Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan”
atau “cucu”. Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab
berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya
digunakan dalam konteks derogatori.
Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau
menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi
namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme.
Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme
adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
B. Faktor-faktor Yang Menyebabkan
Korupsi
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau
sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya korupsi meliputi :
1. Greeds (keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku
serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
2. Opportunities (kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi atau
instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi
seseorang untuk melakukan kecurangan.
3. Needs (kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg
dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
4. Exposures(pengungkapan) : berkaitan
dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila
pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu
pelaku (actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam
organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan
pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan Exposures
berkaitan dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi,
instansi, masyarakat yang kepentingannya dirugikan.
Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab
seseorang melakukan tindakan korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri
sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya) dan faktor rangsangan
dari luar (misalnya dorongan dari teman-teman, kesempatan, kurang kontrol dan
sebagainya).
Dan menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi
yang menyebabkan meluasnya korupsi di Indonesia, yaitu :
1. Pendapatan atau gaji yang
tidak mencukupi.
2. Penyalahgunaan kesempatan
untuk memperkaya diri.
3. Penyalahgunaan kekuasaan untuk
memperkaya diri.
Selain faktor diatas korupsi juga bisa disebabkan
karena hal-hal berikut ini
1. Kurang atau bahkan tidak ada sama sekali transparansi
keuangan dalam suatu sistem pemerintahan, baik pemerintahan Indonesia secara global maupun
pemerintahan skala kecil, misalnya dalam suatu perusahaan.
2. Lemahnya badan hukum negara. Dengan tidak adanya sangsi berat bagi
koruptor, kasus korupsi akan terus terjadi. Selain itu, bukan rahasia lagi
bahwa oknum-oknum di badan hukum juga ikut terlibat KKN (korupsi, kolusi, dan
nepotisme).
3. Lemahnya pimpinan negara dan seluruh pemerintahan dalam penanganan kasus korupsi. Sampai saat ini,
belum ada tindakan tegas yang benar-benar akan membuat koruptor jera.
4. Koruptor yang masuk penjara pun, masih bisa leluasa
melakukan tindak KKN untuk hal-hal tertentu. Misalnya mendapat fasilitas kamar
penjara yang mewah, atau bahkan
keluar masuk tahanan sesuka hati.
Sedangkan menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab
terjadinya korupsi adalah: (1) aspek perilaku individu, (2) aspek organisasi
keperintahan, (3)aspek peraturan perundang-undangan dan (4) aspek pengawasan.
1. Aspek perilaku
individu
Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi,
sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya,
yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk
melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain :
(a) sifat tamak manusia, (b) moral yang kurang kuat menghadapi godaan, (b)
penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, (d) kebutuhan hiduop
yang mendesak, (e) gaya hidup konsumtif, (f) tidak mau bekerja keras, (g)
ajaran-ajaraan agama kurang diterapkan secara benar.
Dalam teori kebutuhan Maslow, demikian dikatakan Sulistyantoro (2004)
korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang
paling bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang
pas-pasan yang bertahan hidup, namum saat ini korupsi dilakukan oleh orang
kaya, pendidikan tinggi.
2.
Aspek
organisasi kepemerintahan
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi
dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat.
Organisasi yang menjadi korban korupsi atau dimana korupsi terjadi biasanya
memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk
terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Bilamana organisasi tersebut tidak membuka
peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak
akan terjadi. Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang
organisasi ini meliputi: (a) kurang adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak
adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem akuntabilitas di instansi
pemerintah kurang memadai, (d) manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam
organisasinya.
3.
Aspek
peraturan perundang-undangan
Tindakan korupsi mudah timbul karena ada
kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan, yang dapat mencakup: (a)
adanya peraturan perundang-undangan yang monolistik yang hanya menguntungkan
kerabat dan “konco-konco” presiden, (b) kualitas peraturan perundang-undangan
kurang memadai, (c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sangsi yang terlalu
ringan, (e) penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, (f) lemahnya
bidang evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan. Beberapa ide strategis
untuk menanggulangi kelemahan ini telah dibentuk oleh pemerintah diantaranya
dengan mendorong para pembuat undang-undang untuk melakukan evaluasi atas
efektivitas suatu undang-undang secara terencana sejak undang-undang tersebut
dibuat.
4.
Aspek
engawasan
Pengawasan yang dilakukan instansi terkait
(BPKP, Itwil, Irjen, Bawasda) kurang bisa efektif karena beberapa faktor,
diantaranya (a) adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi,
(b) kurangnya profesionalisme pengawas, (c) kurang adanya koordinasi antar
pengawas (d) kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum maupun pemerintahan oleh
pengawas sendiri. hal ini sering kali para pengawas tersebut terlibat dalam
praktik korupsi. belum lagi berkaitan dengan pengawasan ekternal yang dilakukan
masyarakat dan media juga lemah, dengan demikian menambah deretan citra buruk
pengawasan APBD yang sarat dengan korupsi. Hal inis sejalan dengan pendapatnya
Baswir (1996) yang mengemukakan bahwa negara kita yang merupakan birokrasi
patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi
pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
C. Dampak Dari Adanya Praktik
Korupsi
Dampak dari adanya praktik korupsi di Indonesia
adalah sebagai berikut:
1. Dampak korupsi yang paling jelas adalah negara
mengalami kerugian dan membuat rakyat semakin miskin. Uang yang
seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, malah masuk ke
kantong-kantong pejabat.
2. Saat satu tindakan korupsi berhasil dilakukan dan
tidak mendapat sanksi hukum yang
sesuai, hal ini akan memicu tindakan korupsi yang lain. Hal ini menjadikan
Indonesia sebagai negara paling korup di dunia karena korupsi menjamur dengan
suburnya.
3. Citra badan hukum negara seperti kepolisian akan
menjadi buruk di mata masyarakat. Hal
ini akan membuat warga Indonesia tidak lagi menghormati badan hukum negara.
4. Tak hanya badan hukum, seluruh pemerintahan Indonesia
juga akan mendapat pandangan sinis dari masyarakat. Membuat warga tidak percaya
lagi pada sistem pemerintahan.
5. Pemilu tidak akan berjalan lancar sebagaimana
mestinya. Hal ini disebabkan masyarakat sudah malas untuk memilih pimpinan.
Menurut masyarakat, mengikuti pemilu sama saja memilih koruptor berikutnya.
6. Bila kasus korupsi dibiarkan terus-menerus, dampak
korupsi yang paling besar adalah perlawanan dari rakyat karena ketidakpuasan pemerintahan.
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa
akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak
mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong
perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik,
pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan
negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya
tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar
1945.
Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi
dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara
menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif
mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan, korupsi
di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum dan korupsi di pemerintahan
publik menghasilkan ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum,
korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah karena pengabaian
prosedur. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan
dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
D. Solusi Mengatasi Korupsi di
Indonesia
Menurut Baharuddin Lopa, mencegah korupsi tidaklah
begitu sulit kalau kita secara sadar untuk menempatkan kepentingan umum
(kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi atau golongan. Ini
perlu ditekankan sebab betapa pun sempurnanya peraturan, kalau ada niat untuk
melakukan korupsi tetap ada di hati para pihak yang ingin korup, korupsi tetap
akan terjadi karena faktor mental itulah yang sangat menentukan.
Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat
didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
- Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,
- Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
- Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.
Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga
strategi untuk mencegah dan memberantas korupsi yang tepat yaitu :
1. Strategi
preventif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan
diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab
yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan
penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan
peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak dalam
pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.
2. Strategi deduktif
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama
dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka
perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan
dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem
tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan sinyal
apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya
berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan
sosial.
3.
Strategi represif
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama
dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan
tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran
ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan di
segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat dilakukan secara
cepat dan tepat. Namun implementasinya harus dilakukan secara terintregasi.
Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan
sesuai dengan strategi yang hendak dilaksanakan. Bahkan dari masyarakat dan
para pemerhati / pengamat masalah korupsi banyak memberikan sumbangan pemikiran
dan opini strategi pemberantasan korupsi secara preventif maupun secara
represif antara lain:
- Konsep “carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi
yang sederhana yang keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan
Singapura. Carrot adalah pendapatan netto pegawai negeri, TNI dan
Polri yang cukup untuk hidup dengan standar sesuai pendidikan,
pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya, sehingga dapat hidup
layak bahkan cukup untuk hidup dengan “gaya” dan “gagah”. Sedangkan Stick
adalah bila semua sudah dicukupi dan masih ada yang berani korupsi, maka
hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan sedikitpun
untuk melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman mati.
- Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di
Indonesia saat ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan
mengefektifkan gerakan rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan
Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama dalam upaya
memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai
politik untuk melawan korupsi. Selama ini pemberantasan korupsi hanya
dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari dukungan saja tanpa ada
realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan rakyat ini
diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan
moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
- Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum
(Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab
serta memiliki komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan
korupsi tanpa memandang status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Hal ini dapat dilakukan dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan
menekankan prosedur structure follows strategy yaitu dengan
menggambar struktur organisasi yang sudah ada terlebih dahulu kemudian
menempatkan orang-orang sesuai posisinya masing-masing dalam struktur
organisasi tersebut.
- Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa
korupsi adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan
martabat manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi
lingkungan sosial masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan menghukum
perbuatan korupsi dan akan menerima, mendukung, dan menghargai perilaku
anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat dilakukan melalui lembaga
pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama
generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun peradaban bangsa yang
bersih dari moral korup.
- Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah
pegawai dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan
jalan menempatkan orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan
apabila masih ada pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas
dan keras kepada mereka yang telah terbukti bersalah dan bilamana perlu
dihukum mati karena korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan
siapa saja yang melakukan korupsi berarti melanggar harkat dan martabat
kehidupan.
Pemerintah Indonesia memang sudah berupaya untuk
melakukan pemberantasan korupsi melaui proses penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan peradilan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Namun
semuanya juga harus melihat dari sisi individu yang melakukan korupsi, karena
dengan adanya faktor-faktor yangt menyebabkan terjadinya korupsi maka perlu
adanya strategi pemberantasan korupsi yang lebih diarahkan kepada upaya-upaya
pencegahan berdasarkan strategi preventif, disamping harus tetap melakukan
tindakan-tindakan represif secara konsisten. Serta sukses tidaknya upaya
pemberantasan korupsi tidak hanya ditentukan oleh adanya instrument hukum yang
pasti dan aparat hukum yang bersih, jujur,dan berani serta dukungan moral dari
masyarakat, melainkan juga dari political will pemimpin negara yang
harus menyatakan perang terhadap korupsi secara konsisten.
Kartono (1983) menyarankan penanggulangan
korupsi sebagai berikut :
1.
Adanya kesadaran rakyat untuk
ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol
sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2.
Menanamkan aspirasi nasional
yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3.
Para pemimpin dan pejabat
memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4.
Adanya sanksi dan kekuatan
untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
5.
Reorganisasi dan rasionalisasi
dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta
jawatan dibawahnya.
6.
Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan
“achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7.
Adanya kebutuhan pegawai negeri
yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
8.
Menciptakan aparatur pemerintah
yang jujur
9.
Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat
yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang
efisien.
10. Herregistrasi
(pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan
pajak yang tinggi.
E. Peran KPK dalam Menangani
Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi, atau
disingkat menjadi KPK, adalah
komisi di Indonesia yang dibentuk pada
tahun 2003
untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi
di Indonesia. Komisi ini didirikan
berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Komisi
Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas sebagai berikut:
- Koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
- Melakukan tindakan-tindakan pencegahan
tindak pidana korupsi; dan
- Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara.
- Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang :
- Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan tindak pidana korupsi;
- Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Meminta informasi tentang kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
- Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi; dan
- Meminta laporan instansi terkait mengenai
pencegahan tindak pidana korupsi.
Dibentuknya KPK adalah untuk
memberantas korupsi sehingga Indonesia bebas dari korupsi sebagaimana terlihat
dalam visi KPK: "Mewujudkan Indonesia yang Bebas Korupsi".
Sedangkan untuk mencapai visi tersebut KPK memiliki misi "Penggerak
Perubahan untuk Mewujudkan Bangsa yang Anti Korupsi". Dengan misi
tersebut jelas bahwa KPK dibentuk bukan sekedar sebagai pemain atau pelaku
dalam pemberantasan korupsi, tetapi lebih sebagai agen penggerak (motor) atau
lebih tepat dirijen dalam pemberantasan korupsi. Peran penggerak ini bisa
juga dilihat dalam 5 tugas KPK yang termaktub dalam UU yang meliputi:
- Koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
- Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak
pidana korupsi; dan
- Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Dengan paparan visi, misi dan
tugas tersebut di atas, maka terlihat bahwa peran penindakan KPK dengan
menangkap koruptor merupakan satu bagian dari mandat lainnya yang harus
dijalankan KPK. Lima mandat tugas KPK di atas mengandung pesan besar
bahwa dalam mewujudkan Indonesia yang bersih dan bebas korupsi, KPK harus mampu
menggerakkan berbagai instrumen yang ada sehingga harus berdaya guna.
Untuk itu KPK mesti melakukan koordinasi, supervisi dan monitoring terhadap
semua instrumen pemberantasan korupsi.
BAB III
PENUTUP
Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada
pada pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau
kelompoknya. Faktor yang menyebabkan praktik korupsi bisa bersifat internal dan
eksternal. Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-sendi
kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa.
Dari uraian diatas jelaslah sudah bahwa
penanggulangan kasus-kasus korupsi tidaklah mudah untuk itu diperlukan
kerjasama dari berbagai pihak yang tentunya dilandasi dengan kesadaran hukum
disetiap warga negara, baik posisinya sebagai warga sipil maupun pejabat negara
yang tentunya semua itu berpulang pada individu masing-masing yang berketuhanan
YME. Tanggung jawab kita bukan hanya kepada pribadi, keluarga dan masyarakat
melainkan juga kepada Tuhan.
Salah satu contoh usaha untuk
mengatasi korupsi adalah sebagai berikut:
1.
Adanya kesadaran rakyat untuk
ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol
sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2.
Menanamkan aspirasi nasional
yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3.
Para pemimpin dan pejabat
memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4.
Adanya sanksi dan kekuatan
untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
5.
Di Indonesia sendiri juga sudah
dibentuk lembaga yang menangani korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi atau
KPK. Melalui lembaga ini diharapkan bisa meminimalisir beberapa kasusu korupsi
yang marak terjadi di Indonesia.
Daftar Pustaka
Saleh,
Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jakarta. Penerbit Ghalia
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar