Rabu, 21 Maret 2012


AKSIOLOGI: NILAI KEGUNAAN ILMU
ILMU DAN MORAL, TANGGUNG JAWAB SOSIAL ILMUWAN, DAN REVOLUSI GENETIKA

Ilmu dan moral
Benarkah bahwa makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran, makin beanr maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia yang mempunyai penalaran tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi analisis yang hakiki, ataukah malah sebaliknya: makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta?
Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi. Namun dalam kenyataannya apakah ilmu selalu merupakan berkah, terbebas dari kutuk, yang membawa mala petaka dan kesengsaraan?
Sejak dalam tahap-tahap pertama pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melaikan juga untuk memerangi sesame manusia dan menguasai mmereka. Bukan saja bermacam-macam senjata pembunuh berhasil dikembangkan namun juga berbagai teknik penyiksaan dan cara memperbudak massa. Di pihak lain, perkembangan ilmu sering melupakan faktor manusia, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya: manusialah akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Sesuatu yang kadang-kadang harus dibayar mahal oleh manusia yang kehilangan sebagian arti dari kemnusiaannya.
Manusia sering dihadapkan dengan situasi yang tidak bersifat manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi teknologi, yang merampas kemanusiaan dan kebahagiaannya.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharuanya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan?
Dan untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmuwan berpaling kepada hakikat moral. Sebenaranya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin memperlajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan diantaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metaffisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkusisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut,, dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.

Pengadilan inkusisi Galileo ini selama kurang lebih dua setengah abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu yang ingin terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilainya sebagai penafsiran metafisik keilmuan. Dalam kurun waktu ini para ilmuan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan: Ilmu yang Bebas Nilai! Setelah pertarungan kurang lebih dua ratus lima puluh tahun maka para ilmuwan mendapatkan kemenangan. Setelah saat itu ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.
Konflik ini bukan saja terjadi dalam ilmu-ilmu alam namun juga dalam ilmu-ilmu social di mana berbagai ideology mencoba mempengaruhi metafisik keilmuan. Kejadian ini sering terulang kembali di mana sebagian metafisik keilmuan diperlukan das Sollen dari ajaran moral yang terkandung dalam ideology tertentu, dan bukan das Sein sebagaimana dituntut oleh hakikat keilmuan.
Mendapatkan otonomi yang terbatas dari segenap nilai yang bersifat dogmatic ini maka dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional yang bersifat kontemtatif kemudian di susul dengan penerapan konsep-konsep ilmiah kepada masalah-masalah praktis. Konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk kongkret yang berupa teknologi. Teknologi di sini diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak(software). Dalam tahap ini ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengetian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi, bertujuan memanipulasi factor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi.
Bertrand Russell menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap “kontempelasi ke manipulasi”. Dalam tahap manipulasi inilah maka masalah moral muncul kembali namun dalm kaitan dengan factor lain. Kalau dalam tahap kontempilasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi ini maslah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara filsafati dapat dikatakan, dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontology keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Ontology diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas obyek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Seperti diketahui setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah, mempunyai tiga dasar yakni ontology, epistemology dan aksiologi. Epistemology membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan; yang dalam kegiatan keilmuan di sebut metode ilmiah.
Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasisebenarnya lebih merupakan masalah kebudayaan daripada masalah moral. Artinya, dihadapkan dengan ekses teknologi yang bersifat negative ini, maka masyarakat harus menentukan teknologi mana saja yang akan dipergunakan dan teknologi mana yang tidak. Secara konseptual maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus menetapkan strategi pengembangan teknologi agar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dijunjungnya.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadpa nilai-nilai baik itu secara ontologism maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya; apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan yang baik, ataukah dipergunakan untuk tujuan yang buruk. Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita.
Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada waktu era Galileo sedangkan golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni: (1) ilmu secara factual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan; (2) ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjaid bila terjadi penyalahgunaan; dan (3) ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemunkinan bahwa ilmu dapat mengubah mansia dan kemanusiaan yang palinh hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan social (social engineering). Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau merubah hakikat kemanusiaan.
Masalah moral tak bisa dilepaskan dengan tekat manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih untuk mempertahankan kebenaran. Diperlukan keberanian moral. Sejarah kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan Sokrates dipaksa minum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung dihalangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dalam melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini diganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran.

Tanggung jawab social ilmuwan
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan maka dia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat tersebut. Dengan kata lain, penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat social. Kreativitas individu yang didukung oleh system komunikasi social yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu yang berjalan sangat efektif.
Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab social yang terpikul di bahunya. Bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup masyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Untuk membahas ruang lingkup yang menjadi tanggung jawab seorang ilmuwan maka hal ini dapat dikembalikan kepada hakikat ilmu itu sendiri. Sikap social seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan.
Semua penelaahan ilmiah dimulai dengan menentukan masalah dan demikian juga halnya dengan prose pengambilan keputusan dalam hidup bermasyarakat. Beberapa masalah sedemikian esoteric dan rumit sehingga masyarakat tidak dapat meletakkan dala proporsi yang sebenarnya. Pada masalah seperti ini maka peranan ilmuwan menjadi sesuatu yang imperative. Dialah yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup untuk dapat menempatkan masalah tersebut pada proporsi sebenarnya. Oleh sebab itu dia mempunyai kewajiban social untuk menyampaikan hal itu kepada masyarakat banyak dalam bahasa yang dapat mereka cerna. Menghadapi masalah yang kurang mereka mengerti biasanya masyarakat bersifat ekstrem. Pada satu puhak mereka bisu karena ketidaktahuan mereka, sedangkan dipihak lain mereka bersikap radikal dan irasional. Tanggung jawab social seorang ilmuwan dalam hal ini adalah memberikan perspektif yang benar:untung dan ruginya, baik dan buruknya; sehingga penyelesaian yang onbyektif dapat dimungkinkan.



Nuklir dan Pilihan Moral

            Pada tanggal 2 Agustus 1939 Albert Einstein menulis surat kepada Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt yang memuat rekomendasi  mengenai serangkaian kegiatan yang kemudian mengarah kepada pembuatan bom  atom. Alasan Einstein untuk menulis surat tersebut secara eksplisit juga  termuat dalam suratnya kepada Presiden Roosevelt dimana dia mengemukakan  kekhawatirannya mengenai kemungkinan pembuatan bom atom oleh Nazi. Keputusan  Einstein bukanlah didasarkan kepada nasionalisme atau patriotism. Dalam  persoalan semacam ini ilmu bersifat netral. Walaupun demikian dalam kasus ini Einstein memilih untuk berpihak, yaitu brpihak kepada kemanusiaan yang besar. Kemanusiaan ini tidak mengenal batas geografis, siatem politik atau system kemasyarakatan lainnya.
            Seorang ilmuan secara moral tidak akan emmbiarkan hasil penemuannya diguanakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan adalah bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat bahwa para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut
anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan. Ternyata bahwa dalam soal-soal yang menyangkut kemanusiaan para ilmuwan tidak bersifat netral. Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusiaan memerlukan mereka. Suara mereka bersifat universal mengatasi golongan, ras, sisitem kekuasaan, agama dan lain-lain.
            Salah satu musuh kemanusiaan yang besar adalah peperangan. Perang menyebabkan kehancuran, pembunuhan dan kesengsaraan. Tugas ilmuwanlah untuk menhilangkan atau mengecilkan terjadinya peperangan ini meskipun hal ini merupakan sesuatu yang hampir mustahil terjadi. Perang merupakan fakta dari sejarah kemanusiaan yang sukar untuk dihilangkan. Mungkin hal ini sudah merupakan fitrah dari manusia dan masyarakat kemanusiaan yang sudah mendarah daging.
            Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan kemanusiaan, atau sebaliknya dapat pula dislahgunakan. Pengetahuan pada dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan kemanusiaan. Masalahnya adalah sekiranya ilmuwan menemukan sesuatu yang menurut dia berbahaya maka apakah yang harus dilakukan menyembunyikan ataukah menyerahkan kepada morak kemanusiaan untuk menentukan penggunaannya?
            Majalah Fortune mengadakan angket terhadap masalah tersebut dan hasilnya angket tersebut menyimpulkan bahwa 78% ilmuwan di perguruan tinggi, 81% ilmuwan dibidang pemerintahan dan 78% ilmuwan dalam industry berkeyakinan bahwa seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuannya.
            Kenetralan seorang ilmuwan dalam hal ini disebabkan anggapannya bahwa ilmu pengetahuan merupaka rangkaian penemuan yang mengarah kepada penemuan selanjutnya. Kemajuan ilmu pengetahuan tidak melalui loncatan-loncatan yang tidak berketentuan melainkan melalui proses kumulatif secara teratur. Usaha menyembunyikan sebuah penemuan merupakan kerugian bagi kemajuan ilmu pengetahuan maka ilmu pengetahuan bersifat netral.
            Seorang ilmuwan tidak boleh memutarbalikkan fakta penemuannya bila hipotesis yang dijunjungnya yang tyerpengaruh prefensi moral ternyata hancur berantakan karena bertentangan dengan fakata-fakta pengujian. Seorang lmuwan di atas landasan moral memilih untuk membuktikan bahwa generasi muda kita berkesadaran tinggi atau membuktikan bahwa hasil penemuannya itu efektif maka dalam hasil penemuannya dia bersifat netral dan membebaskan diri dari semua keterikatannya yang membelenggu dia secara sadar ataupun tidak. Kenetralan di tas itulah yang menjadikan ilmu bersifat universal. Ilmu mengabdi kemanusiaan dengan menyumbangkan penemuan yang didapatkan lewat kegiatan ilmiah. Penemuan ilmiah tidaklah diperuntukkan bagi suatu golonga tertentu namun bagi kemanusiaan secara keseluruhan.
            Kenetralan dalam proses penemuan kebenaran inilah yang mengharuskan ilmuwan untuk bersikap dalam menghadapi bagaimana penemua itu digunakan. Pengetahuan bisa merupakan berkah dan merupakan kutukan bergantung bagaimana manusia memanfaatkannya. Bila pengetahuan merupakan kutukan, maka dalam hal ini ilmuwan wajib bersikap dan tampil ke depan.
            Ada baiknya kita menyimak pesan Enstein kepada mahasiswa California Institute of Technology. Pesan itu diakhiri dengan kata-kata, “ Jangan kau lupakan hal ini di tengah tumpukan diagram dan persamaan.” Sungguh suatu pesan yang patut direnungkan karena di tengah tumpukan grafik dan rumus-rumus kadang kita lupa, semua ini untuk apa? Ternyata ilmu tidak saja memerlukan kemampuan intelektual namun juga keseluruhan moral. Tanpa itu maka ilmu hanya akan menjadi Frankenstein yang akan mencekik penciptnya dan menimbulkan malapetaka.

Revolusi genetika
Ilmu dalam perspektif sejarah kemanusiaan mempunyai puncak kecermelangan masing-masing. Kimia merupakan kegemilangan ilmu yang pertama yang dimulai sebagai kegiatan pseudoilmiah yang bertujuan mencari obat mujarab untnuk hidup abadi dan rumus campuran kimia untuk mendapatkan emas. Setelah itu menyusul fisika yang mencapai kulminasi pada teori fisika nuklir. Dan sekarang kita di ambang kurun genetika dengan awl revolusi di bidang genetika.
Tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan dalam kedua bidang kimia dan fisika membawa manfaat yang banyak untuk kehidupan manusia. Namun disamping berkah ini kemajuan ilmu sekaligus membawa malapetaka. Perang Dunia I menghadirkan bom kuman sebagia kutukan ilmu kimia dan Perang Dunia II memunculkan bom atom sebagai produk fisika.
Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai obyek penelaahan sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaahan yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu saja banyak seklai, namun penelaahan-penelaahan ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik secara langsung manusia sebagai obyek penelaahan. Artinya, jika kita mengadakan penelahaan mengenai jantung manusia, maka hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi berkaitan dengan penyakit jantung. Atau dengan kata lain, upaya kita diarahkan dalam mengembangkan pengetahuan yang memungkinkan kita dapat mengetahui segenap proses yang berkaitan dengan jantung, dan diatas pengetahuan itu dikembangkan teknologi  yang berupa alat yang member kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguan-gangguan jantung. Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi  yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi obyek penelaahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri. Apakah perubahan-perubahan yang di lakukan di atas secara moral dapat di benarkan ?
            Jawaban mengenai hal ini harus dikembalikan kepada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup ini, yang berkaitan erat dengan hakikat kemanusiaan itu sendiri, bersifat otonom dan terlepas darikajian dan pengaruh ilmiah. Apakah sebenarnya tujuan hidup manusia ? dalam hal ini maka ilmu tidak berwenang untuk menentukannya, dan dalam napas yang sama hal ini berarti, bahwa ilmu tidak berhak menjamah daerah kemanusiaan yang akan mempunyai pengaruh terhadap kelangsungan tujuan hidupnya. Jangan jamah kemanusiaan itu sendiri! Mungkin inilah kesimpulan dari kerangka pemikiran ini.
            Analisis substantive dari jalan pikiran tersebut di atas membawa kita kepada beberapa permasalahan yang bersifat seperti, sekiranya kita mampumembikin manusia yang IQ-nya 160 apakah ilmu bisa memberikan jaminan bahwa dia akan berbahagia (sekiranya diterima bahwa kebahagiaan adalah salah satu tujuan hidup manusia)? Dalam hal ini ilmu tidak akan bisa memberikan jawaban yang bersifat apriori (sebelumnya) sebab kesimpulan ilmiah baru bisa ditarik setelah proses pembuktian yang bersifat aposteriori (sesudahnya). Jadi bila kita secara moral bersedia meluluskan penciptaan manusia yang mempunyai IQ 160 maka dengan ilmu pun tidak bisa memberikan jaminan bahwa dia berbahagia.
            Kita harus mencoba dulu dan baru kita akan mengetahui jawabannya, mungkin demikian jawabannya para ahli genetika. Hal ini membawa permasalahan moral yang baru, apakah memperlakukan manusia selaku kelinci percobaan dapat  dipertanggunjawabkan secara moral ? Sampai  seberapa banyak dan seberapa jauh percobaan harus dilakukan agar ilmu memberikan pembuktian yang meyakinkan? (Bayangkan suatu desain eksperimen dengan manusia-manusia sebagi obyek agar didapatkan kesimpulan statistis yang sahih). Dan hal ini baru berhubungan dengan salah satu aspek dari hakikat kemanusiaan, padahal hakikat kemanusiaan itu sangat kompleks, yang satu dengan yang lain tidak terjalin dalam hubungan rasional yang dapat dianalisis secara kuantitatif yang melibatkan psikis, emosional dan kepribadian manusia. Jadi ketetapan hati kita untuk melakukan percobaan secara alamiah pun akan membawa kita kepada permasalahan moral yang tidak berkesudahan, bagai mata rantai yang jalin-menjalin, di mana ilmu itu sendiri tidak bisa memberikan jawabannya secara apriori. Dalam  hal ini, manusia diibaratkan membuka kotak Pandora, sekali dibuka berhamburlah kutuk dan malapetaka. Jangan sentuh kotak malapetaka itu! Mungkin inilah kesimpulan yang dapat ditarik dari sudut argumentasi ini.
            Belum lagi bila diingat bahwa secara moral mungkin saja orang tidak sependapat bahwa kemuliaan manusia tidak ada hubungannya dengan IQ 160. Kemuliaan manusia bagi sebagian orang bukan terletak pada atribut-atribut fisik melainkan pada amal perbuatannya. Demikian juga mungkin saja atribut-atribut fisik itu mempunyai makna (religius) tertentu dalam perspektif kehidupan yang bersifat teologis. Mengapa mengutik-ngutik suatu atribut yang terkait dengan kepercayaan seseorang yang bersifat sakral? Penemuan dalam riset genetika akan dipergunakan dengan itikat baik untuk keluhuraan manusia.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari seluruh pembahasan tersebut yaitu menyatakan sikap yang menolak terhadap dijadikannya manusia sebagai obyek penelitian genetika. Secara moral kita lakukan evaluasi etis terhadap suatu obyek yang tercakup dalam obyek formal (ontologis) ilmu. Menghadapi nuklir yang sudah merupakan kenyataan maka moral hanya mampu memberikan penilaian yang bersifat aksiologis, bagaimana sebaiknya kita mempergunakan tenaga nuklir untuk keluhuran martabat manusia.





Daftar Pustaka

Sumantri, Jujun S.2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar