Senin, 26 Maret 2012


BAB I
PENDAHULUAN

Linguistic sebagai ilmu yang mengkaji seluk beluk bahasa keseharian manusia dakam perkembangannya memiliki beberapa cabang. Cabang-cabang linguistic itu secara berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut: (1) fonologi, (2) morfologi, (3) sintaksis, (4) semantic, dan (5)pragmatik. Dari urutan cabang-cabang linguistic itu tampak bahwa pragmatic merupakan cabang linguistic yang terakhir sekaligus terbaru.
Pragmatic mempelajari apa saja yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antar penutur dan mitra tutur serta sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa yang sifatnya ekstralinguistik.
Leech (1983) menyatakan bahwa pragmatic merupakan bagian dari penggunaan tata bahasa. Selanjutnya, pakar ini menunjukkan bahwa pragmatic dapat berintegrasi dengan tata bahasa atau gramatika yang meliputi fonologi, morfologi, dan sintaksis melalui semantic.




BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Pragmatik
Pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu.
Pragmatik mengkaji maksud penutur dalam menuturkan sebuah satuan lingual tertentu pada sebuah bahasa. Karena yang dikaji di dalam pragmatic adalah makna, dapat dikatakan bahwa pragmatic dalam banyak hal sejajar sengan semantic yang juga mengkaji makna. Perbedaan antar keduanya adalah bahwa pragmatic mengkaji makna satuan lingual secara eksternal, sedangkan semantic mengkaji makna satuan lingual secara internal. Makna yang dikaji dalam pragmatic bersifat terikat konteks, sedangkan makna yang dikaji dalam semantic bersifat bebas konteks. Makna yang dikaji dalam pragmatic bersifat triadik, sedangkan makna yang dikaji dalam semantic bersifat diadik. Pragmatic menkaji bentuk bahasa untuk mengetahui maksud penutur, sedangkan sematik mempelajari bentuk bahasa untuk memahami makna satuan lingual itu. Berkenaan dengan makna diadik dan makna triadic dalam linguistic itu, wijana (1996) menyebutkan bahwa makna jenis pertama dapat dirumuskan dengan pertanyaan “Apa makna x itu?”, sedangkan makna jenis kedua dirumuskan dengan pertanyaan “Apakah yang kamu maksud dengan berkata x itu?”.
Dibagian depan sudah diuraikan bahwa pragmatic adalah studi bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks. Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Dengan mendasarkan pada gagasan Leech (1983: 13-14), Wijana (1996) menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut dengan konteks situasi tutur. Konteks situasi tutur, menurutnya, mencakup aspek-aspek berikut.
(1)   Penutur dan lawan tutur
Penutur dan lawan tutur di dalam beberapa literature, khususnya dalam Searle (1983), lazim dilambangkan dengan S (speaker) yang berarti ‘pembicara atau penutur’ dan H (hearer) yang dapat diartikan ‘pendengar atau mitra tutur’. Digunakannya lambing S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi cakupan pragmatic semata-mata hanya pada bahasa ragam lisan saja, melainkan juga dapat mencakup ragam bahasa tulis.
(2)   Konteks tuturan
Konteks tuturan telah diartikan bermacam-macam oleh para linguis. Konteks dapat mencakup aspek-aspek tuturan yang relevan baik secara fisik maupun nonfisik. Konteks dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu didalam proses bertutur.
(3)   Tujuan tuturan
Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk tuturan seseorang. Dikatakan demikian, karena pada dasarnya tuturan itu terwujud karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur yang jelas dan tertentu sifatnya. Secara pragmatic, satu bentuk tutur dapat memiliki maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Demikian sebaliknya, satu maksud atau tujuan tutur dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan berbeda-beda. Disinilah dapat dilihat perbedaan mendasar antara pragmatic yang berorientasi funsional  dengan tata bahasa yang berorientasi formal atau struktural.
(4)   Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas
Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas merupakan bidang yang ditangani pragmatic. Karena pragmatic mempelajari tindak verbal yang terdapat dalam situasi tindak tutur tertentu, dapat dikatakan bahwa yang dibicarakan di dalam pragmatik itu bersifat kongkret karena jelas keberadaan siapa peserta tuturnya, dimana tempat tuturnya, kapan waktu tuturnya, dan seperti apa konteks situasi tuturnya secara keseluruhan.
(5)   Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan dapat dipandang sebagai sebuah produk tindak verbal. Dapat dikatakan demikian, karena pada dasarnya tuturan yang ada dalam sebuah penuturan itu adalah hasil tindak verbal para peserta tutur dengan segala pertimbangan konteks yang melingkupi dan mewadahinya.

  1. Prinsip Kerja Sama Grice
Agar pesan dapat sampai dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut ini : (1) prinsip kejelasan, (2) prinsip kepadatan, dan (3) prinsip kelangsungan. Prinsip-prinsip itu secara lengkap dituangkan dalam Prinsip Kerjasama Grice (1975). Prinsip Kerja Sama Grice itu seluruhnya meliputi empat maksim yang satu per satu sebagai berikut.
  1. Maksim kuantitas
Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relative memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Demikian sebalinya, apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksi kuantitas.
Contoh:
(1)               “Lihat itu Muhammad Ali mau bertanding lagi!”
(2)               “lihat itu Muhammad Ali yang mantan petinju kelas berat itu mau bertanding lagi!”
 Tuturan (1) dalam contoh diatas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informative isinya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambah informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi seperti ditunjukkan pada tuturan (2) justru akan menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang digariskan maksim ini, tuturan seperti pada (2) diatas tidak mendukung atau bahkan  melanggar Prinsip Kerja Sama Grice.
Pernyataan yang demikian dalam banyak hal, kadang-kadang, tidak dapat dibenarkan. Dalam masyarakat dan budaya Indonesia, khusunya di dalam kultur masyarakat Jawa, justru ada indikasi bahwa semakin panjang sebuah tuturan akan semakin sopanlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan, akan semakin tidak sopanlah tuturan itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk menunjukkan maksud kesantunan tuturan dalam bahasa Indonesia, dalam hal tertentu penutur harus melanggar dan tidak menepati Prinsip Kerja Sama Grice. Tuturan (3), (4) dan tuturan (5) berikut secara berturut-turut menunjukkan perbedaan tingkat kesantunan tuturan sebagai akibat dari perbedaan panjang-pendeknya tuturan
(3)               “Bawalah Koran itu ke tenpat lain!”
(4)               “Tolong bawalah Koran itu ke tempat lain!”
(5)               “Silakan Koran itu dibawa ke tempat lain dahulu!”
  1. Maksim kualitas
Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan (6) dan tuturan (7) pada bagian berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernnyataan ini.
(6)               “Silakan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya!”
(7)               ‘Jangan menyontek, nilainya bias E nanti!”
Tuturan (6) dan (7) dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya didalam ruang ujian saat ia melihat ada mahasiswa yang sedang berusaha melakukan penyontekan.

Tuturan (7) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerjasama antara penutur dan mitra tutur. Tuturan (6) dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan seseorang. Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila di dalam dunia oendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilakan para mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung.
Dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan mitra tutur sangat lazim menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak senyatanya dan tidak disertai bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa-basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan perkataan lain, untuk bertutur yang santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan tidak dipenuhi. Tuturan (8), (9) dan (10) berikut secara berturut-turut berbeda dalam peringkat kesantunannya dan dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan di atas.
(8)               “Pak, minta uangnya untuk besok!”
(9)               “Bapak, besok beli bukunya bagaimana?”
(10)           “Bapak, besok aku jadi ke Gramedia, bukan?”

  1. Maksim relevansi
Di dalam malsim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerjasama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang di pertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerjasama. Sebagai ilustrasi atas pernyataan itu perlu dicermati tuturan (11) berikut.
(11)                                                                                         Sang Hyang Tunggal: “Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini dalam hati!”
Semar: “Hamba bersedia, ya Dewa.”
Cuplikan penuturan pada (11) di atas dapat dikatakan mematuhi dan menepati maksim relevansi. Dikatakan demikian, karena apabila dicermati secara lebih mendalam, tuturan yang disampaikan tokoh Semar, yakni “Hamba bersedia, ya, Dewa” benar-benar merupakan tanggapan atas perintah Sang Hyang Tunggal yang dituturkan sebelumnya, yakni ”Namun, sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku dalam hati.” Dengan perkataan lain, tuturan itu patuh dengan maksim relevansi dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Untuk maksud-maksud tertentu , misalnya untuk menunjukkan kesantunan tuturan, ketentuan yang ada pada maksim itu sering kali tidak dipenuhi penutur. Berkenaan dengan hal ini, tuturan (12) antara seorang direktur dengan sekretarisnya pada contoh berikut dapat dipertimbangkan.
(12)           Direktur: “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu!”
Sekretaris: “Maaf  Bu, kasihan sekali nenek tua itu.”
Dituturkan oleh seorang direktur kepada sekretarisnya pada saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja Direktur. Pada saat itu, ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama.

Di dalam cuplikan percakapan diatas, tampak dengan jelas bahwa tuturan sang Sekretaris, yakni “Maaf  Bu, kasihan sekali nenek tua itu” tidak memiliki relevansi dengan apa yang diperintah kan sang Direktur: “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu!” Dengan demikian tuturan tersebut dapat dipaki sebagai salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip kerjasama tidak selalu harus dipenuhi dan dipatuhi dalam penuturan sesungguhnya. Hal seperti itu dapat dilakukan, khususnya apabila tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan maksud-maksud tertentu yang khusus sifatnya.

  1. Maksim pelaksanaan.
Maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas dan tidak kabur. Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan. Berkenaan dengan itu, tuturan (14) pada contoh berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi.
(13)           (+) “Ayo, cepat dibuka!”
(-) “Sebentar dulu, masih dingin.”
Cuplikan tuturan (14) di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah. Karena berkadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburanya menjadi sangat tinggi. Tuturan si penutur (+) yang berbunyi (”Ayo, cepat dibuka!” sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si mitra tutur. Kata dibuka dalam tuturan diatas mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan sangat tinggi. Oleh karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur. Dapat dikatakan demikian, karena kata itu dimungkinkan untuk ditafsirkann bermacam-macam. Demikian pula tuturan yang disampaikan si mitra tutur (-), yakni “Sebentar dulu, masih dingin” mengandung kadar ketaksaan cukup tinggi. Kata dingin pada tuturan itu dapat mendatangkan banyak kemungkinan persepsi penafsiran karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa sebenarnya yang masih dingin itu. Tuturan-tuturan demikian itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan dalam Prinsip Kerja Sama Grice.
Dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya pada masyarakat bahasa Indonesia, ketidakjelasan, kekaburan, dan ketidaklangsungan merupakan hal yang wajar dan sangat lazim terjadi. Sebagai contoh, di dalam masyarakat tutur dan kebudayaan Jawa, ciri-ciri bertutur demikian hampir selalu dapat ditemukan dalam percakapan keseharian. Pada masyarakat tutur ini, justru ketidaklanngsungan merupakan salah satu kriteria kesantunan seseorang dalam bertutur. Tuturan (15) berikut dapt digunakan sebagai ilustrasi untuk memperjelas hal ini.
(14)                       Anak: “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota.”
Ibu: “Itu sudah saya siapkan di laci meja.”

Dari cuplikan di atas, tampak bahwa tuturan yang dituturkan sang anak yakni berbunyi “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota” relative kabur maksudnya. Maksud yang sebenarnya dari tuturan si anak itu, bukannya terutama ingin memberitahu kepada sang ibu bahwa ia akan segera kembali ke kota, melainkan lebih dari itu, yakni bahwa ia sebenarnya ingin menanyakan apakah sang ibu sudah siap dengan sejumlah uang yang sudah diminta sebelumnya. Seperti telah disampaikan terdahulu, di dalam masyarakat tutur Jawa, justru kesantunan berbahasa banyak dimarkahi oleh ketidakjelasan, ketidaklangsungan kekaburan dan semacamnya. Orang yang terlibat didalam penuturan diharapkan dapat membaca maksud tersembunyi dari si mitra tutur.

  1. Prinsip Kesantunan Leech
    1. Maksim Kebijaksanaan
Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak laindalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindari sifat dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap si mitra tutur. Demikian pula perasaan sakit hati sebagai akibat dari perlakuan yang tidak  menguntungkan pihak lain akan dapat diminimalkan apabila maksim kebijaksanaan ini dipegang  teguh dan dilaksanakan dalam kegiatan bertutur.
Contoh:
 Tuan Rumah: “Silakan makan dulu , nak!”
 Tamu: “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
Di dalam tuturan tersebut diatas tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan Rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu dapat ditemukan dalam keluarga-keluarga pada masyarakat tutur desa. Orang-orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan terlebih dahulu kedatangannya.
    1. maksim kedermawanan
 Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan dapat terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.
Contoh:
 Anak kos A:”Mari say cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak, kok, yang kotor.”
Anak kos B: “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok.”
Dari tuturan yang disampaikan si A diatas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan  dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya si B. di dalam masyarakat tutur Jawa, hal demikian itu sangat sering terjadi karena merupakan salah satu wujud nyata dari sebuah kerja sama. Orang yang tidak suka mebantu orang lain, apalafi tidak pernah bekerja bersama orang lai, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan keseharian hidupnya.
Contoh:
Bapak A: “Wah, oli mesin mobilku agak sedikit kurang.”
Bapak B: “Pakai oliku juga boleh. Sebentar, saya ambilkan dulu.”
    1. Maksim penghargaan
Dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci atau saling merendahkan pihak lain. Peserta titir yang sering mengejek pihak peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Maka tindakan mengejek harus dihindari dari pergaulan sesungguhnya karena merupakan perbuatan yang tidak menghargai orang lain.
 Contoh:
Dosen A: “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.”
Dosen B: “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.”
Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian atau penghargaan oleh dosen A. dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu doden B berperilaku santun terhadap dosen A.
    1. maksim kesederhanaan
Didalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang.
Contoh:
Ibu A: “Nanti Ibu yang memberikan sambutan ya dalam rapat Dasa Wisma!”
Ibu B: “Waduh,…. Nanti grogi aku.”
    1. maksim permufakatan
Di dalam maksim permufakatan atau maksim kecocokan (Wijana, 1996:59), ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Di dalam masyarakat tutur Jawa, orang tidak diperbolehkan memenggal atau bahkan membantah secara langsung apa yang dituturkan oleh pihak lain.
Contoh:
Noni: “Nanti malam kita makan malam bersama ya, Yun!”
Yuyun: “Boleh, Saya tunggu di Bambu Resto.”
    1. maksim kesimpatisan
Di dalam maksim ini diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Masyarakat tutur Indonesia, sangat menjunjung tinggi            rasa kesimpatisan terhadap orang lain di dalam komunikasi kesehariannya. Kesimpatisan terhadap pihak l;ain sering ditunjukkan dengan senyuman, anggukan, gandengan tangan, dan sebagainya.
Contoh:
Ani: “Tut, nenekku meninggal.”
Tuti: “Innalillahiwainnailaihi rojiun. Ikut berduka cita.”

  1. Prinsip kesantunan
Sedikitnya terdapat tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan yaitu sebagai berikut.
a.       Skala Kesantunan Leech
Di dalam model ini, setiap maksim, interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Berikut skala kesantunan yang disampaikan Leech selengkapnya.
(1)   skala keuntungan dan kerugian, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akn semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakkin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal ini dilihat dari kacamata mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan diri mitra tutur, akan semakin dipandang tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri, si mitra tutur akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
(2)   Skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi penutur dan mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun.
(3)   Skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin tidak langsung, maksu sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
(4)   Skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan statu social antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat social antara keduanya, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status social di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.
(5)   Skala jarak social menunjuk kepada peringkat hubungan social antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat social diantara keduanya, akan menjadi semakin kurang kesantunan tuturan itu. Sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosialnya, akan semakin santun tuturan yang digunakan. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.
b.      Skala Kesantunan Brown and Levinson
Di dalam model Skala Kesantunan Brown and Levinson terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala termaksud ditentukan secara kontekstual, social dan cultural sebagai berikut.
(1)   skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin dan latar belakang sosiokultural. Berkenaan dengan umur antara penutur dan mitra tutur, lazimnya didapat bahwa semakin tua umur seseorang, peringkat kesantunan dalam bertutur akan semakin tinggi. Sebaliknya, orang yang masih berusia muda cenderung memiliki tingkat kesantunan yang rendah dalam bertutur. Orang yang berjenis kelamin wanita, lazimnya memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin pria. Latar belakang sosiokultural seseorang memiliki peran sangat besar dalm menentukan peringkat kesantunan tutur yang dimilikinya.
(2)   Skala peringkat status social antara penutur dan mitra tutur atau disebut dengan peringkat kekuasaan didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur.
(3)   Skala peringkat tindak tutur didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lain. Sebagai contoh, dalam situasi sangat khusus, bertamu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu bertamu yang wajar akan dikatakan sebagai tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesantunan yang berlaku pada masyarakat tutur itu. Namun demikian, hal yang sama akan dianggap sangat wajar dalam situasi yang berbeda. Pada saat di suatu kota terjadi kerusuhan dan pembakaran gedung-gedung dan perumahan, orang berada di dalam rumah orang lain atau rumah tetangganya bahkan sampai pada waktu yang tidak ditentukan.
c.       Skala Kesantunan Robin Lakoff
Robin Lakoff (1973) menyatakan tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya kesantunan di dalam kegiatan bertutur. Ketiga ketentuan itu adalah sebagai berikut.
(2)   Skala formalitas, dinyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatn bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh. Di dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya dan senatural-naturalnya antara yang satu dengan yang lain.
(3)   Skala ketidaktegasan atau skala pilihan menunjukkan agar penutur dan mitra tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatn bertutur, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan terlalu kaku di dalam bertutur karena dianggap tidak santun.
(4)   Peringkat kesekawanan atau kesamaan menunjukkan bahwa agar dapat bersikap santun, orang haruslah bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak satu dengan yang lain. Agar tercapai maksud tersebut, penutur haruslah dapat menganggap mitra tutur sebagai sahabat. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihal lainnya, rasa kesekawanan dan kesejajaran sebagai satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai.

BAB III
PENUTUP

            Kesimpulan
            Pragmatic mempelajari apa saja yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antar penutur dan mitra tutur serta sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa yang sifatnya ekstralinguistik. Dibagian depan sudah diuraikan bahwa pragmatic adalah studi bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks. Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Dengan mendasarkan pada gagasan Leech (1983: 13-14), Wijana (1996) menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut dengan konteks situasi tutur seperti Penutur dan lawan tutur, Konteks tuturan, Tujuan tuturan, Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, Tuturan sebagai produk tindak verbal.



DAFTAR PUSTAKA

Rahardi, Kunjana.2005.Pragmatik. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Akadiah, Sabarti.1991.Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Proyek Tenaga Kependidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar